trip singapura

Sabtu, 29 Maret 2014
sekali lagi berkunjung ke singapura. kali ini dibayarin sama kantor. saat trip pertama dulu, fokus perhatiannya ada pada transportasi publik yaitu MRT dan bis, namun kali ini karena dateng untuk keperluan kantor, jadi ga punya banyak waktu untuk jalan2 jauh yang pake MRT atau bis. akhirnya aktivitas perpindahan lokasi lebih banyak dilakukan dengan jalan kaki, sambil ngamatin kendaraan-kendaraan (mobil/motor/bis) yang mengisi jalan dan juga sambil ngamatin para pejalan kaki lainnya.

tata kota
salah satu yang cukup gw soroti di singapura adalah marka jalan. tiap jalan memiliki marka yang jelas. garis putih pemisah lajur, maupun kotak kuning (YBJ) menjadi standar di semua jalan yang gw lintasi, termasuk di jalan kecil. cukup miris ketika gw liat lagi kondisi jalan raya di Jabodetabek yang biasa gw lalui, garis pemisah lajur pun belum tentu ada. mungkin di jalan protokol garis pemisah lajur tercetak cukup jelas, tapi di jalan2 lain, tidak jelas dimana batas lajurnya. garis pinggir jalan pun jarang ditemui di jalan2 jabodetabek.

YBJ (Yellow Box Junction), bisa dilihat penjelasan fungsinya di http://catatan.tmcpoldametro.net/, tujuannya untuk menghindari deadlock di bagian jalan yang menjadi perpotongan antara beberapa jalur. di jabodetabek, YBJ hanya gw temui di beberapa perempatan besar yang rawan macet, dan itu pun banyak pengguna kendaraan pribadi yang tidak mengindahkan fungsi YBJ ini. di singapura, YBJ diterapkan dengan baik, bukan hanya di perempatan besar tapi juga bahkan di putaran antara 2 jalur, perpotongan jalan kecil dan jalan besar, hingga di samping lokasi perhentian bus selain halte.

ybj di putaran jalan

ybj di perpotongan jalan kecil

ybj di samping stop bus

para pengguna kendaraan di singapura pun menaati marka tersebut. suatu pagi yang gw amati, ketika lampu sedang merah, pengendara mobil yang kebetulan berada di 'belakang' YBJ, mengerem kendaraannya di belakang YBJ sampai lampu hijau kembali.

dengan ketaatan pengguna kendaraan seperti itu, selama seminggu gw di singapura, gw cuma denger 3 kali orang nglakson. sangat berbeda dengan suasana di jabodetabek.

enak banget jalan kaki di singapura. jalur pejalan kaki didesain dengan serius, trotoarnya lebar, tersambung terus di semua jalan. bahkan untuk nyebrang jalan, tersedia lampu merah untuk pejalan kaki. kalo lampu merah untuk kendaraan punya 3 warna (merah, kuning, hijau) dimana kuning artinya siap2 (siap2 jalan atau siap2 stop), bagi pejalan kaki lampunya cuma 2 yaitu merah dan hijau.

pada warna hijau pejalan kaki, ada nyala kedip2 dan nyala terus. nyala terus artinya orang bisa mulai menyebrang, sedangkan jika lampu hijau berkedip, pejalan kaki dihimbau untuk tidak mulai menyebrang. kadang ada sih yang tetep mulai nyebrang waktu lampu udah kedip-kedip, tapi konsekuensinya adalah si orang itu biasanya harus jalan cepet atau lari dari tengah jalan karena lampu kendaraan yg akan lewat udah hijau.

hal tersebut menunjukkan adanya perhitungan durasi berapa rata-rata waktu yang dibutuhkan orang-orang untuk menyebrang. jika lampu merah untuk kendaraan yang akan melewati jalur terebut akan berakhir (segera menjadi hijau), durasi rata-rata tersebut dibutuhkan untuk menentukan apakah lampu hijau pejalan kaki sudah perlu dikedipkan. detail sekali sistemnya dibuat.

kondisi ini membuat pejalan kaki (yah setidaknya gw dan temen gw) merasa dihargai sebagai pengguna jalan yang setara dengan mobil atau motor atau bis. dan entah bagaimana awalnya dikondisikan, para pengguna kendaraan pribadi akan selalu mengalah pada pejalan kaki ketika pejalan kaki hendak menyebrang.

jalan kaki dan kesehatan
dengan kondisi yang didesain nyaman untuk berjalan kaki, para penduduk singapura cenderung lebih memilih untuk berjalan kaki jika lokasi tujuan berjarak sekitar 1km dari lokasi awal. hal demikian akan mengimbangi kebutuhan para pekerja singapura untuk berolahraga minimal. dengan pola kerja yang lebih banyak dihabiskan di belakang meja atau di depan monitor, jalan kaki akan menyeimbangkan kebutuhan badan akan gerak.

jarang sekali gw ketemu pekerja/warga singapura berusia sekolah sampai usia kerja yang bertubuh gemuk. di jalan sehari2 yang gw temui mayoritas bertubuh langsing, baik pria mau pun wanitanya. gw rasa ini ada hubungannya juga dengan kebiasaan jalan kaki sehari-hari. seminggu gw di sana, lemak di perut gw banyak berkurang :D

berdasarkan data dari http://www.worldlifeexpectancy.com/country-health-profile/singapore, terlihat bahwa life expectancy warga singapur secara historis meningkat dari taun ke taun, dan pada taun 2011 menempati peringkat 8 besar terbaik di dunia.

walaupun termasuk nominasi negara dengan tingginya tingkat penduduk yang tidak bahagia (http://www.scmp.com/news/hong-kong/article/1131222/singapore-hong-kong-face-happiness-deficit?page=all), walaupun belum tentu tidak bahagia adalah sama dengan stress atau sedih, seperti dikatakan di artikel ini http://www.gallup.com/poll/158882/singapore-ranks-least-emotional-country-world.aspx bahwa penduduk singapur sedikit menggunakan emosi (positif ataupun negatif), tetapi data di paragraf sebelumnya menunjukkan bahwa singapur berada di nominasi negara dengan tingkat kesehatan terbaik.

hal di atas dapat dijadikan pelajaran bahwa dengan meningkatkan kualitas transportasi publik dan fasilitas pejalan kaki, membuat orang-orang akan memilih untuk menggunakan transportasi publik dan/atau berjalan kaki, dapat mengurangi potensi minimal dua masalah sekaligus yaitu kemacetan dan kesehatan.

etika sosial (formalitas)
banyak didenger bahwa di singapura orang2nya cenderung individualistik. ga peduli masalah orang lain, ga mau mengganggu dan ga mau diganggu. selama gw di sana, ketemu macem-macem orang dari negara dan budaya yang beda-beda, satu hal yang (mungkin tanpa sadar) dilakukan bersama-sama adalah meminimalisir gesekan yang mungkin terjadi akibat perbedaan budaya atau latar belakang antar individunya.

hal ini bukan berarti ignorant atau ga bersosialisasi satu sama lain, tetapi justru saling bersosialisasi tetapi dengan menciptakan suatu formalitas tertentu yang dilakukan bersama. hal kecil sebagai contoh, yang gw dapet fotonya, adalah foto ini

say thank you when someone holds the lift door for you

salah satu hal yang cukup menonjol di singapura adalah kebiasaan tidak memetingkan diri sendiri ketika berada di lingkungan sosial. entah itu di jalan raya, di stasiun MRT, di halte bis, mau pun di lift. cukup sering terlihat seseorang yang berada dekat tombol lift menahan pintu lift agar tetap terbuka agar orang-orang yang akan keluar dari lift tidak perlu terburu-buru atau hati-hati takut pintu tertutup saat dia akan lewat. dan untuk contoh demikian, formalitas yang dibentuk adalah dengan mengucapkan terima kasih kepada yang melakukannya.

kita tidak bisa menilai apakah mereka tulus atau tidak saat mengucapkan itu. tetapi bagi orang yang menahan pintu, tiap ucapan adalah apresiasi yang baik. gw pernah coba melakukan itu, dan gw cukup surprise karena banyak ucapan2 terima kasih yang disampaikan (biarpun sebagian dari mereka mengucapkannya dengan kepala menunduk tanpa kontak mata).

di kejadian lain, seorang kawan saya yang asli singapura menahan pintu, dan sambil gw keluar gw bilang 'thank you' ke dia dan reaksinya adalah dia dan beberapa kawan lain justru tertawa-tawa sambil menepuk punggung gw. ini gw artikan bahwa ucapan itu adalah formalitas bagi mereka-mereka yang tidak terlalu mengenal (atau bahkan tidak kenal sama sekali).

dan yang baik menurut gw dalam hal ini adalah, walaupun himbauan ini ditempel secara tertulis di lift, walaupun (mungkin) merupakan formalitas saja, tetapi tetap ada kesadaran untuk melakukannya. walaupun mungkin bukan dilandasi empati, tetapi memang mereka menyadari bahwa untuk meminimalisir gesekan, ada formalitas tertentu yang 'perlu' dilakukan dan tidak memalukan untuk melakukannya.




baca selengkapnya..






-------------------------------------------------------------------------------------